banner ads banner ads banner ads banner ads

Jumat, 14 September 2012

Menyusuri Jejak Sang Proklamator di Rengasdengklok

Rumah yang terletak di Dusun Kalijaya, Desa Rengasdengklok, Karawang, itu tampak begitu sederhana. Dindingnya hanya terbuat dari kayu bercat putih dengan pekarangan yang dibatasi pagar bambu. 
Pemandangannya benar-benar seperti rumah-rumah di kampung pinggiran. (Hairun Fahrudin)
Halamannya yang tak terlalu luas ditumbuhi pohon rindang yang membuat sejuk suasana. Di muka rumah, ada sebuah warung kecil tempat beberapa orang duduk dengan santainya. Pemandangannya benar-benar seperti rumah-rumah di kampung pinggiran.

Tapi siapa sangka, di balik penampilannya yang sangat sederhana, rumah itu menyimpan sejarah besar. Ya, di situlah tempat Soekarno dan Muhammad Hatta disembunyikan saat mereka “diculik” oleh sekelompok pemuda dalam Peristiwa Rengasdengklok, sehari menjelang proklamasi kemerdekaan. 

Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, golongan muda yang antara lain diwakili Chaerul Saleh, Sukarni dan Wikana, mendesak para pemimpin pejuang agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua yang diwakili Soekarno, Hatta dan Ahmad Soebardjo, menginginkan persiapan yang lebih matang untuk menghindari kekacauan dan bentrok bersenjata setelah proklamasi kemerdekaan.

Dini hari tanggal 16 Agustus 1945, sekelompok pemuda menjemput Bung Karno dan Bung Hatta dari kediamannya untuk dibawa ke Rengasdengklok. Alasan mereka, tokoh penting itu harus dijauhkan dari pengaruh Jepang supaya proklamasi bisa segera terwujud dan murni hasil perjuangan bangsa Indonesia sendiri. Istri Bung Karno, Fatmawati, beserta putra mereka Guruh yang saat itu masih berusia 9 bulan, turut dibawa dalam peristiwa tersebut.

Rengasdengkok dipilih sebagai lokasi “pengasingan” karena letaknya cukup terpencil, sehingga pergerakan tentara Jepang dari Jakarta, Bandung serta wilayah sekitarnya bisa dengan mudah dideteksi para pejuang. 

Setelah tiba di Rengasdengklok, awalnya Bung Karno dan Bung Hatta ditempatkan di markas tentara PETA setempat. Namun karena dikhawatirkan bisa memancing kecurigaan tentang Jepang, akhirnya mereka dipindahkan ke rumah Tjiauw Kie Siong, seorang petani dan peternak keturunan Tionghoa yang oleh warga setempat biasa dipanggil Babah Kisong.

Nama Tjiauw Kie Siong sendiri hampir tidak pernah disebut dalam buku sejarah. Meski begitu, ia telah berwasiat kepada anak cucunya supaya memelihara rumah peninggalan keluarga mereka yang pernah ditempati sang proklamator. Tjiauw Kie Siong telah wafat pada tahun 1964, dan sampai hari ini wasiatnya masih dilaksanakan oleh keturunannya.

Lokasi asli rumah Tjiauw Kie Siong sebenarnya berada di pinggir Sungai Citarum yang berjarak sekitar 200 meter dari letaknya yang sekarang. Pada tahun 1957, rumah ini terpaksa harus dipindah demi menghindari erosi Sungai Citarum.

Ketika melangkah masuk ke ruang tamu rumah bersejarah ini, kita akan melihat sebuah meja altar yang dihiasi potret tua Tjiauw Kie Siong. Di meja ini juga bisa dilihat potret keluarga Bung Karno serta foto-foto lama milik keluarga Tjiauw Kie Siong. Di sudut lainnya, ada sebuah lemari bufet antik yang menyimpan berbagai plakat kenang-kenangan dari anggota organisasi yang pernah mengunjungi rumah itu.
Ada dua buah bilik yang mengapit ruang tamu ini. (Hairun Fahrudin)
Ada dua buah bilik yang mengapit ruang tamu ini. Bilik di sebelah kanan pernah ditempati Bung Karno, dan satunya lagi ditempati oleh Bung Hatta. Konon, bilik Bung Karno sering digunakan paranormal untuk bermeditasi. Namun perabot di dalam bilik Bung Karno ini hanya replika saja, sebab yang asli sudah menjadi koleksi Museum Sri Baduga, Bandung. Sedangkan perabotan di bilik Bung Hatta semuanya masih asli.
Konon, bilik Bung Karno sering digunakan paranormal untuk bermeditasi. (Hairun Fahrudin)
Rumah Tjiauw Kie Siong belum berstatus sebagai museum dan masih digunakan oleh keturunannya sebagai tempat tinggal. Menurut Pak Yanto, cucu Djiauw Kie Siong yang sekarang menempati rumah warisan keluarganya tersebut, biaya perawatan rumah mereka ditanggung keluarga sendiri. Meski tidak mendapat bantuan pemerintah, keluarga Djiauw Kie Siong selalu ramah menerima siapa pun yang tertarik dengan sejarah rumah mereka, dan dengan setia menjawab semua pertanyaan pengunjung. 

Pemerintah terkesan sangat abai dengan aset bersejarah ini. Jalan sempit di muka rumah Tjiauw Kie Siong tampak sudah berlubang-lubang dan tak ada papan petunjuk apa pun yang menerangkan lokasinya. Sejatinya, jika dikelola dengan baik, rumah ini bisa menjadi objek wisata sejarah yang sangat menarik.
Jalan sempit di muka rumah Tjiauw Kie Siong tampak sudah berlubang-lubang. (Hairun Fahrudin)

sumber

0 komentar:

Posting Komentar