Secara etimologis, Dieng berasal dari dua kata dalam
Bahasa Kawi. "Di" yang berarti pegunungan atau tempat, dan "hyang"
berarti dewa. Maka, tidaklah heran jika Dieng merupakan satu areal
tersakral di Jawa. Dataran tinggi yang terbelah di antara Kabupaten
Banjarnegara dan Wonosobo, Jawa Tengah, ini bisa dikatakan tempat
bersemayamnya dewa-dewi.Masyarakat yang mendiami kawah raksasa
gunung purba dengan ketinggian lebih dari dua ribu meter di atas
permukaan laut ini masih memegang teguh tradisi nenek moyang. Terlepas
dari semua itu, Dieng memiliki banyak keunikan. Satu di antaranya adalah
fenomena anak berambut gembel atau gimbal. Cerita rakyat setempat
menyebutkan, anak gimbal adalah titipan Nyi Roro Kidul, penguasa Laut
Selatan. Sementara cerita lain meyakini anak-anak tersebut merupakan
titisan Ki Ageng Kolo Dete dan Nini Ronce Kolo Prenye--sepasang leluhur
pendiri perkampungan Dieng.
Fenomena anak berambut gimbal di Dieng
bukan disebabkan faktor genetik atau turun-temurun. Mereka terlahir
normal. Tak ada yang bisa memprediksi kapan dan anak siapa yang mendapat
anugerah itu. Hanya saja, mereka punya kesamaan. Sebelum rambut
terpilin tak terurus, anak gimbal menderita demam tinggi disertai kejang
dan mengigau. Dari sisi medis, fenomena ini sulit dijelaskan.
Keseharian
anak berambut gimbal di Dieng tak jauh berbeda dengan anak kebanyakan.
Namun, mereka cenderung lebih aktif, agak nakal, dan sedikit keras
kepala. Mereka kerap menyendiri. Kepercayaan setempat meyakini anak itu
tengah bercengkerama dengan mahluk gaib yang menyertainya. Tapi, tak
selamanya rambut gimbal itu memahkotai mereka. Ada ritual pemotongan
yang harus dilakukan. Sebab, ada kepercayaan jika dibiarkan hingga
remaja maka akan membawa musibah bagi si anak dan keluarganya.
Upacara
ruwatan pemotongan rambut gimbal di Dieng Kulon dipimpin pemangku adat
Mbah Naryono. Sebelum prosesi dilangsungkan, si mbah dan sesepuh desa
melakukan ritual napak tilas. Ritual berupa doa digelar di beberapa
tempat sakral agar ruwatan berjalan lancar. Candi Dwarawati, Kompleks
Candi Arjuna, Sendang Maerokoco, Kompleks Pertapaan Mandalasari di
Telaga Warna, dan Kawah Sikidang merupakan tempat-tempat yang
disambangi.
Saat hajatan ruwatan pencukuran dimulai, sesepuh desa
mempersiapkan berbagai sesajian dibantu warga desa. Sajen itu antara
lain nasi tumpeng tujuh macam dan tak lupa gunungan hasil bumi warga
sekitar Dieng. Anak-anak berambut gimbal mengenakan ikat kepala kain
putih, pertanda niat suci agar berkah dan rezeki bakal datang setelah
rambut gimbal dipotong.
Arak-arakan mengelilingi kampung disertai
dengan kesenian tradisional berupa musik tek-tek bambu asri, barongsai,
dan rampakyakso, agar seluruh desa mendapat berkah. Anak berambut gimbal
satu per satu memasuki Sendang Maerokoco dengan dinaungi payung
robyong. Sumber mata air kuno di kompleks percandian itu pun dibatasi
kain kafan putih yang bermakna batas suci.
Setelah prosesi
penjamasan, rambut si anak dicuci. Mereka diarak ke depan Candi Arjuna,
tempat prosesi pencukuran dilaksanakan. Tokoh masyarakat yang didampingi
sesepuh desa mengambil peran memangkas. Pemotongan rambut diyakini
mengusir mahluk gaib keluar dari tubuh si anak. Selanjutnya, setelah
benda permintaan diserahkan kepada si anak, rambut yang telah dipotong
dan sejumlah sesajen dilarung. Lokasinya di Telaga Warna yang mengalir
ke Sungai Serayu.
Sungai Serayu berhilir ke Pantai Selatan atau
Samudera Hindia. Pelarungan ini menyimbolkan pengembalian rambut titipan
tersebut kepada Nyi Roro Kidul agar bala atau kesialan berganti menjadi
rezeki.
sumber
0 komentar:
Posting Komentar