banner ads banner ads banner ads banner ads

Rabu, 21 Maret 2012

Indonesia makin runyam! Konflik yang terjadi di tubuh PSSI tak juga berakhir. Malah, kini Indonesia kembali terancam mendapat sanksi dari otoritas tertinggi sepakbola dunia, FIFA.

Kecemasan publik sepakbola Indonesia akhirnya terjadi juga, di mana kini Indonesia memiliki dua induk organisasi sepakbola. Pertama adalah PSSI pimpinan Djohar Arifin Husin yang terpilih lewat jalur Kongres Luar Biasa di Solo, Juli lalu.

Satunya lagi adalah La Nyalla Mahmud Mattalitti. Nyalla terpilih sebagai Ketua Umum PSSI versi Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) yang baru menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) di Mercure Hotel, Ancol, sebagai bentuk kekecewaan mereka terhadap kinerja PSSI yang dinilainya banyak melanggar statuta.

Kondisi ini praktis membuat publik pecinta sepakbola Indonesia bingung. Mana yang sah di antara mereka? Jawabannya pun absurd. Pasalnya, masing-masing kubu mengklaim diri atau kubunya sah.

Di kubu PSSI pimpinan Djohar, mereka menyatakan bahwa satu-satunya organisasi yang diakui FIFA dan konfederasi sepakbola Asia, AFC adalah PSSI yang dia pimpin.

Sementara itu, kubu KPSI juga menyatakan keyakinannya bahwa hasil KLB yang mereka gelar kemarin akan diakui federasi yang dipimpin Sepp Blatter tersebut. Nyalla selaku ketua umum mengaku akan segera mengirimkan hasil KLB mereka ke FIFA, bahkan ke badan arbitrase dunia CAS dan arbitrase KONI. Padahal, sebelumnya gugatan KPSI ke CAS sudah dijawab dan berujung pada penolakan digelarnya KLB.

Dualisme Kompetisi
Sebenarnya, jika boleh jujur, permasalahan terbesar yang terjadi di sepakbola Indonesia adalah terpecahnya kompetisi menjadi dua, yakni Indonesian Premier League (IPL) yang digagas PSSI dan Indonesia Super League (ISL) yang bernaung di bawah KPSI dan PT. Liga Indonesia.

Untuk permasalahan ini, Djohar menyatakan bila PSSI siap mengakui ISL sebagai kompetisi legal, namun harus berjalan di bawah kontrol PSSI. Djohar menyatakan kedua kompetisi tersebut akan berjalan hingga akhir musim untuk kemudian dicarikan jalan keluarnya.

Dualisme kompetisi ini jugalah yang membuat Indonesia tidak bisa berbuat banyak di kancah dunia. Tentunya, masih lekat dalam ingatan kita di mana Timnas Indonesia mencetak rekor kekalahan terbesar usai dibantai Bahrain 10-0 di pra kualifikasi Piala Dunia dan kekalahan Timnas U-21 di final Sultan Hassanal Bolkiah Trophy dari tuan rumah Brunei Darussalam, tim yang dalam sejarah belum pernah mengalahkan Indonesia.

Rentetan hasil minor ini tak lepas dari adanya dualisme kompetisi di mana PSSI tidak bisa memilih pemain-pemain terbaik, karena mayoritas pemain yang biasanya membela ‘Merah-Putih’ berlaga di ISL, kompetisi yang dilarang oleh FIFA.

Untuk itu, upaya rekonsiliasi pun diupayakan kubu PSSI agar Indonesia tidak dijatuhi sanksi FIFA. Perlu diketahui, dalam suratnya Januari lalu, federasi sepakbola tertinggi di dunia tersebut memberikan tenggat kepada PSSI untuk menyelesaikan konflik sebelum 20 Maret.

Jika hingga tanggal tersebut tidak juga mendapatkan solusi, besar kemungkinan FIFA akan menjatuhkan sanksi berupa larangan tampil di kancah internasional. Namun, tidak menutup kemungkinan juga FIFA akan kembali membentuk Komite Normalisasi (KN) untuk menyelesaikan kisruh, seperti yang sempat terjadi di era kepemimpinan Nurdin Halid.

Mari kita tunggu keputusan apa yang akan dikeluarkan FIFA menyikapi sikap kekanak-kanakan individu yang mengaku cinta sepakbola itu.


sumber

0 komentar:

Posting Komentar