banner ads banner ads banner ads banner ads

Sabtu, 17 Maret 2012

Pornografi dan Pornoaksi Yang Mendarah Daging

Hari-hari ini, pemerintah Indonesia sedang gerah, galau dan gamang. Apa pasal? Media Indonesia (MI) menurunkan judul berita utamanya, “Indonesia Peringkat Ke-1 Pengunduh, Pengunggah Situs Porno”. Siapapun pasti akan mengatakan bahwa hal itu merupakan “prestasi yang luar biasa” bagi Negara berpenduduk mayoritas muslim sekaligus muslim terbanyak secara kuantitas di dunia.

Disebutkan MI, kini, Indonesia bertengger di peringkat satu dunia dalam jumlah pengunduh dan pengunggah situs porno. Urutannya sebagai berikut; Indonesia, India, Malaysia, Yunani, Turki, Italia, Filipina, Slovakia, Kanada dan Amerika Serikat.

Untuk internal Indonesia sendiri, terdapat sepuluh wilayah (provinsi) sebagai penggemar pornografi. Yaitu; Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Bali, Yogyakarta, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan Jakarta (Jabodetabek). Dari sepuluh wilyah tersebut, ternyata ada juga sepuluh Kota Besar sebagai penggemar pornografi. Yaitu; Makassar, Madiun, Semarang, Denpasar, Malang, Medan, Daerah Istimewa Yogyakarta, Palembang, Samarinda, dan Surabaya.

Mayoritas pengunduh masih berusia remaja, yakni pelajar SMP dan SMA. Pertengahan Januari lalu, Indonesia masih menduduki urutan ketiga setelah China dan Turki. Humas Kemenkominfo Gatot Dewabrata hanya bisa mengakui pemblokiran situs porno saat ini masih lemah. Pemblokiran tersebut masih dapat ditembus. "Belum pernah ada operator dapat memblokir 100% situs porno", akunya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menuding Kemenkominfo tidak serius bekerja. "Tidak disediakannya dana secara cukup dalam perencanaan anggaran tahunan oleh menteri bersangkutan menunjukkan menteri dan jajarannya tidak serius menangani bahaya pornografi," kata Wakil Sekjen MUI Pusat Tengku Zulkarnaen.

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan, terjadi peningkatan drastis kasus seks bebas di kalangan remaja Kota Banjarmasin. Tercatat angka persalinan usia remaja melonjak dari 50 kasus pada 2010 menjadi 235 kasus pada 2011. Kasus kehamilan tidak diinginkan juga naik dari 35 kasus menjadi 220 kasus. Itu di Kota Banjarmasin. Seperti apa yang terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Medan?

Jika telusuri sedikit ke belakang (Antara, 24/6/2010), berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Gerakan "Jangan Bugil Depan Kamera (JBDK) selama 2010, masyarakat Indonesia berada pada urutan keempat di dunia yang suka membuka internet untuk situs pornografi. Sedangkan pada tahun 2008 dan 2009, Indonesia berada pada urutan ketiga dari beberapa negara di Asia setelah Vietnam, Kroasia dan beberapa negara Eropa lainnya.
Berdasarkan data dari www.toptenreviews.com (Hidayatullah, Juni 2008), Indonesia ada pada urutan ke-3, yang pengguna internetnya suka membuka situs porno, setelah Vietnam dan India. Tak kalah mengejutkan, setiap hari rata-rata dua video porno diproduksi di Indonesia. Video-video amoral itu bukan dibuat oleh produser ahli, bahkan yang membuat justru anak-anak remaja yang biasa menggunakan telepon genggam. Video itu lalu disebarluaskan melalui internet dan dikopi secara tular-menular melalui handphone (HP). Karenanya jangan heran, jika anak-anak SMP dan SMU dengan mudah memutar video porno melalui HP tanpa sepengetahuan orangtua atau guru-guru mereka.

Budaya Indonesia?

Pornografi-pornoaksi dan seksualitas ibarat dua sisi dari satu koin. Di satu sisi, norma dan nilai yang dilekatkan pada individu (aspek rekreasi) yang bersifat spesifik secara sejarah dan budaya. Sedangkan di sisi lain, sifat alamiah manusia (fungsi biologis-prokreasi). Sikap masyarakat Indonesia terbuka terhadap seksualitas yang mempunyai akar sosiokultural yang berubah dari waktu ke waktu. Setidaknya, hal ini bisa dilihat jejaknya dari Kakawin Arjunawiwaha (Mpu Tantular) dan Serat Centhini (Paku Buwono V). Kedua karya besar itu eksplisit menunjukkan secara terbuka karena aktivitas seksual dipandang sebagai hal alami.

Penelitian Schurhammer membuktikan, di Sulawesi Utara pada masa pra-Islam, perzinahan dengan perempuan yang belum menikah diperbolehkan, tetapi jika perzinahan dilakukan dengan perempuan yang telah terikat perkawinan, dikenai hukuman mati.

Sementara itu, di Bali, Hirschfeld menemukan, hampir semuanya, tanpa kecuali, perempuan dewasa dan remaja bertelanjang dada sampai pusar, sedangkan perempuan kecil telanjang bulat. Mereka dengan bangga menunjukkan keindahan dada. Dr Kruse, dokter berwarga negara Jerman yang lama berpraktik di Bali, menuliskan dalam bukunya, hanya pelacur yang menutup dada mereka untuk membangkitkan rasa penasaran dan memikat laki-laki meski pendapat ini perlu diuji kebenarannya lebih lanjut.

Di kerajaan Jawa (Vorstenlanden), seorang sunan hidup di istana yang menguasai 450 perempuan, dengan hanya 34 yang dijadikan sebagai istri. Sisanya adalah penari dan pelayan yang, jika diinginkan raja, harus siap menjadi selir.

Selain karya literatur dan aktivitas seksual, keterbukaan sikap terhadap seksualitas juga terlihat dari kesenian tradisional masyarakat yang masih bisa disaksikan saat ini. Sejumlah tarian menunjukkan di mana gerakan-gerakan erotis yang mengeksploitasi pinggul, dada, dan pantat jelas terlihat.

Perbedaan sikap terhadap seksualitas di berbagai budaya di Indonesia tidak bisa disatukan menjadi kesamaan sikap. Sikap budaya yang terbuka terhadap seksualitas sebagai hal alamiah sudah lama dipraktikkan dan mustahil dihapus jejaknya.

Benturan dengan nilai dan norma ”baru” yang datang kemudian, yaitu pandangan Islam dan agama-agama lain, serta sistem pendidikan Belanda baru terjadi ”kemarin sore”. Ini akan memunculkan dua kubu yang berhadapan, seperti terjadi saat ini. Resistensi pasti terjadi di satu sisi, sementara keinginan untuk ”menyucikan” budaya juga terjadi di sisi lain.

Selamatkan Generasi!

Secara legal formal, Indonesia telah memiliki dua undang-undang untuk mengantisipasi semakin maraknya praktik pornografi dan pornoaksi. Undang-undang yang dimaksud adalah Undang Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU APP (Undang Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi).

UU ITE diharapkan bisa mengatur segala urusan dunia internet, termasuk di dalamnya memberi punishment terhadap pelaku kejahatan dunia maya (cybercrime). Di berbagai literatur, cybercrime dideteksi dari dua sudut pandang. Pertama, kejahatan yang menggunakan teknologi informasi sebagai fasilitas; pembajakan, pornografi, pemalsuan/pencurian kartu kredit, penipuan lewat email (fraud), email spam, perjudian on line, terorisme, dan isu sara menyesatkan. Kedua, kejahatan yang menjadikan sistem teknologi informasi sebagai sasaran. Di antaranya, pencurian data pribadi, penyebaran virus komputer, pembobolan situs, cyberwar, denial of service (DOS), dan kejahatan yang berhubungan dengan nama domain.

Kabarnya, pendiri Microsoft, Bill Gates “membatasi” anaknya menonton games. Membatasi harus, tapi melarang seluruhnya, menurut Dr. Romi, bukan hal yang baik. Internet seperti pisau, yang bisa digunakan untuk memasak daging di dapur dengan enak, tapi bisa juga untuk membunuh orang. Tidak mungkin kita melarang anak untuk memegang pisau, atau dalam hal ini internet. Yang dilakukan adalah controlling.

Ada tiga cara yang bisa digunakan untuk mencegah pemanfaatan internet secara negatif. Tiga cara pencegahan itu adalah: hukum (dengan undang-undang seperti UU ITE, UU APP), teknologi (dengan filter, peningkatan security) dan socio-culture. Yang paling efekfif adalah socio-culture. Membuat generasi muda kita sibuk dengan berbagai kreativitas dan project adalah salah satu teknik socio-culture. Dengan itu generasi muda kita tidak sempat lagi melihat pornografi atau menjadi cracker yang melakukan pengrusakan. Guru, dosen dan juga orangtua harus siap dengan konten pendidikan dan penugasan ke siswa sehingga siswa tidak terjebak ke arah yang negatif, itu syaratnya.




sumber

0 komentar:

Posting Komentar